Senin, 25 Juli 2011

Belajar dari Piring

"Urip iku ojo di pageri nanggo beling...ning pager ono nanggo piring."

Sebuah pepatah jawa yang mengartikan bahwa hidup kita itu jangan semakin hari malah semakin membuat jurang pemisah dengan sesama kita. Orang mau mendekati kita, jadi tidak berani, merasa sungkan akibat pagar yang dibuat oleh kita semakin tinggi. Pagar-pagar yang di atasnya penuh taburan beling (pecahan kaca) membuat orang tidak berani untuk melompatinya. Pecahan kaca ditebarkan di atas tembok agar pencuri juga tak berani masuk ke rumah. Seperti tembok-tembok yang tinggi mengitari rumah membuat orang jadi tak berani bertamu. Orang-orang yang berada di luar juga tidak tau keadaan dan kondisi rumah di dalam. Mau mencari pintu masuk saja susah sekali.

Apakah diri kita saat ini sama dengan sebuah rumah yang dikelilingi dengan tembok-tembok yang sangat tinggi? Apakah juga ada taburan pecahan kaca di tembok itu?
Tembok-tembok itu bisa tinggi dan semakin tinggi hari demi hari dari kepandaian kita, jabatan kita, penghasilan dan kekayaan yang semakin berlimpah. Dari popularitas, dari hidup kerohanian, dari kesibukan dan masih banyak lagi.

Meruntuhkan tembok-tembok yang tinggi dan menjadikan diri seperti piring. Piring yang bentuknya selalu terbuka. Hendaklah hidup kita juga selalu terbuka terhadap sesama kita.
Sebuah piring yang di atasnya dapat ditaruh apa saja. Bisa nasi, kecap dan kerupuk tergantung apa yang dipunya saat itu. Kalau ada orang yang datang dan lagi membutuhkan tentu akan disantap juga. Apa yang ia punya siap disajikan dalam sebuah piring untuk dibagikan dan dimakan bersama-sama. Makan gak makan asal kumpul.

Jika hidup kita hari demi hari seperti piring tentu akan membawa suka cita kepada orang-orang sekitar. Orang tidak merasa sungkan untuk mengenal kita. Tak ada jarak dan tembok pemisah, hanya sebuah piring terbuka. Berbeda ketika kita harus melalui sebuah tembok yang tinggi, orang sudah akan balik badan dan menjaga jarak dengan kita.
Sebuah piring juga mengajak kita untuk selalu membuka mulut kita, untuk selalu menyapa, tersenyum dengan sesama kita.

Jadi lah piring yang terbuka, bukan piring yang telungkup. Piring telungkup yang tidak mau menerima dan membagikan apa yang kita punya dan menerima apa yang diberikan. Piring terbuka juga memberikan arti kita juga tulus ikhlas menerima segala kekurangan kita, menerima masukan dan kritikan terhadap kita dengan lapang dada.

Apa yang sekarang kita peroleh hendaknya tidak menjadikan diri seperti tembok-tembok yang menjulang tinggi, tetapi menjadikan diri seperti piring yang tetap rendah hati dan sederhana.
-siGal-

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Persembahan Hati