Rabu, 16 November 2011

Pelajaran hidup di gerbong kereta api#1

Lama sudah tak menginjakan kaki di kampung halaman. Ada guratan rindu akan sebuah kenangan masa kecil. Sambil menatap ke luar jendela kereta api yang terus melaju mengejar waktu. Suasana kereta sungguh ramai, maklumlah naik kereta ekonomi yang murah meriah. Yang penting sampai tujuan dengan selamat itu aja. Ramainya dalam gerbong kereta api ekonomi justru membuat perjalanan panjang serasa tak membosankan. Lalu lalang orang menjajakan berbagai macam jajanan. Mulai dari makanan, minuman, mainan, peralatan rumah tangga, buku, peralatan pertukangan semua ada. Belum lagi orang yang menjual suaranya, mengamen, ataupun orang yang membersihkan seputaran tempat duduk kita dengan menyapu atau menyemprotkan wewangian. Melihat fenomena yang ada di dalam kereta api, pikirku sungguh banyak cara dan usaha manusia untuk bertahan hidup. Untuk bertahan hidup dijaman yang serba susah ini memang dituntut untuk kreatif.

Tiba di stasiun kota kecil, kereta pun berhenti, maklumlah harus menunggu kereta yang lebih eksekutif atau bisnis lewat dulu. Maklumlah seperti di kehidupan nyata rakyat kecil harus mengalah atau menepi dulu ketika pejabat sedang lewat. Ah...suasana panas ketika kereta berhenti. Berharap kereta segera melaju lagi. Namun apalah daya hampir 15 menit kereta tak juga melaju. Hanya kibasan majalah yang di tangan yang bisa mengusir rasa gerah yang melanda.

Tak berapa lama kemudian, terdengar alunan lagu dari anak kecil yang lagi mengamen. Suaranya khas anak kecil banget. Banyak pasangan mata yang memandang pengamen kecil itu. Maklumlah sangat jarang sekali dijumpai pengamen kecil di dalam kereta. Yang ada dan banyak itu orang-orang dewasa yang tak terhitung jumlahnya.

Kereta api mulai melaju dengan pelan, namun pengamen kecil itu juga belum turun dari kereta hingga kereta melaju dengan kencang. Sambil memberi uang, salah satu penumpang bertanya, adik kok tidak turun? Tidak, bu nanti di stasiun selanjutnya.

Lama kereta melaju tanpa henti, kira-kira dua jam lamanya. Lalu aku tersadar, wah jarak yang jauh sekali yang ditempuh oleh anak kecil pengamen tadi. Pergi meninggalkan rumah, untuk mencari rejeki di usia yang masih muda. Tiap hari naik turun gerbong, berpindah dari stasiun satu ke stasiun yang lainnya. Teringat akan kenangan masa silam, ketika aku pergi tanpa pamit. Semua seisi rumah panik. Itupun aku pergi masih di sekitaran daerah asal masih dalam propinsi. Kata orang, hidup itu memang kejam. Tetapi yang kejam itu bukan hidup. Yang membuat kejam justru kita-kita ini, orang-orang yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.

Entah sudah berapa kali kereta berhenti di stasiun, aku sendiri tak menghitungnya. Kulihat dibalik kaca, anak kecil itu turun dan menghilang dibalik keramaian stasiun. Mungkin juga setelah dari stasiun ini gerbong kereta akan dijumpai lagi sesosok anak-anak kecil tangguh lainnya. Namun dalam hati aku berharap semoga tak ada lagi.
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Persembahan Hati