Sabtu, 03 November 2012

Kata Terima Kasih Buat Sang Guru


Sering kali orang menyepelekan dengan pelajaran yang satu ini, mata pelajaran yang paling mudah itu katanya sih. Hanya masuk, duduk diam mendengarkan, tak banyak bertingkah pasti nilainya akan bagus. Kalau nilainya sampai jelek, pasti karena kebangetan bandel dan ngeyelnya. Pelajaran itu adalah pelajaran pendidikan agama.  Tak banyak orang yang memilih menjadi guru pendidikan agama di sekolah.  Kuliah di jurusan pendidikan agama, jika mereka benar-benar merasa tak terpanggil, tentu tak akan dijalaninya. Guru yang mengajar pelajaran ini seringkali  dipandang sebelah mata, banyak yang bolos ketika pelajaran agama berlangsung. Teringat dahulu saat SMA dari kelas satu sampai kelas tiga, sempat beberapa kali membolos. Bahkan dulu sempat pak Anton (nama guru agama di sekolahan saya), mencari anak-anak yang membolos , mengingat jumlah siswa di ruangannya kok tak seperti biasanya, sangat sedikit. Lalu diketemukanlah segerombolah anak-anak yang baru mencari jati diri sedang asyik makan mie ayam di dekat pasar. Maklumlah sekolah yang dekat dengan pasar, jadi tersedia berbagai jenis makanan dan beberapa tempat makan.
Dulu saat menjadi siswa SMA, mungkin tak menyadari kenapa dulu sering meremehkan pelajaran yang satu ini. Padahal kita dididik dan dibesarkan oleh orang tua kita masing-masing dengan pendidikan agama dan budi pekerti. Melalui contoh nyata dari orang tua serta lingkungan yang ikut mendidik dan membesarkan iman kita. Namun saaat pelajaran agama di sekolah, kenapa masih juga sering bolos ya?
Jika dirasakan sungguh hebatnya menjadi guru agama, yang sekarang ini jumlahnya sangat sedikit. Baru setalah dewasa ini baru berpikir menjadi guru agama itu tak mudah. Seperti apa yang dulu dijalani oleh pak Anton. Pergi mengajar ke sekolah dengan naik bis, padahal jarak dari rumah ke jalan raya ada kurang lebih 500 meter.  Selain mengajar di sekolahan ku pak Anton juga mengajar di sekolahan lainnya. Dari rumah ke sekolahan, lalu ke sekolahan lainnya dijalaninya dengan senang hati. Tak ada raut wajah keterpaksaan, tak ada raut wajah yang menunjukan kelelahan. Semua itu dijalaninya dengan sepenuh hati.
Ketika diadakan ujian, misalnya satu hari ada dua mata pelajaran yang diujikan seperti jam pertama matematika dan jam kedua pendidikan agama. Pastilah yang mendapat porsi terbesar adalah belajar matematika sampai larut malam, belajar pendidikan agama bisa dilakukan esok hari. Mengingat pelajaran agama dipandang mudah dan agak disepelekan oleh kita. “ah paling yang keluar hanya itu-itu saja…” Bagi orang yang hanya mengejar tuntutan nilai, maka akan sangat mudah untuk mendapatkan nilai baik pendidikan agama. Namun lebih dalam sebenarnya bukanlah nilai akhir yang dihasilkan, melainkan sejauh mana nilai-nilai agama yang diajarkan oleh para guru kita itu mampu menyentuh hati nurani kita, mampu merubah cara pandang kita dalam menghadapi persoalan dengan melibatkan hati nurani kita. Saat kita berbuat salah, saat kita membolos, saat kita mencontek sebenarnyalah hati nurani kita sudah berkata : “ itu salah…jangan dilakukan…” namun apa yang terjadi, kita tetap saja melakukan perbuatan itu. Tentu kita bisa lihat contoh nyata oknum pejabat, orang-orang pintar di dewan, bahkan menteri juga banyak yang terseret kasus korupsi.  Mereka semua itu pintar, mungkin nilai mata pelajaran eksak dan pendidikan agama dulu nilainya bagus, namun lagi-lagi sayang mereka tak mendengarkan suara hatinya.
Jika sejak dini anak-anak diajarkan untuk mencoba mendengarkan suara hati, tentu bangsa ini tak akan terjebak pada kasus korupsi yang telah mengurita di mana-mana. Saat pendidikan budi pekerti dihapuskan. Saat jam pendidikan agama hanya sesaat saja. Dan tuntutan untuk mengejar nilai kelulusan harus dibebankan ke siswa. Orang tua dan murid yang tahu hanyalah bagaimana lulus dengan syarat yang telah ditentukan oleh sekolahan  dengan berbagai macam cara. Mengikut sertakan bimbingan belajar hingga larut malam dan tak jarang anak menjadi terbatas dalam bersosialisasi. Tuntutan yang begitu berat jika tidak didampingi dengan pendidikan moral, budi pekerti dan agama yang baik yang ada hanyalah pikiran yang dangkal. Akibatnya tawuran, saling bunuh, pengerusakan, narkoba dan yang lebih parahnya lagi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu seperti budaya korupsi yan terjadi saat ini.
Pemerintah sering mengambil keputusan untuk menaikan standart nilai kelulusan, namun disisi lain fasilitas dan mutu pengajaran tidak mengalami perubahan. Sering kali fasilitas pendidikan agama, baik dalam bentuk penyediaan fasilitas baik ruang mengajar sering kali diabaikan. Buku-buku acuanpun tak banyak, hanya itu-itu saja dari tahun ketahun. Walaupun fasilitas yang serba terbatas namun dari sosok pak Anton saya menyadari kini, bahwa dulu beliau bukan hanya mengajarkan teori saja. Namun lebih dari itu, sosok tak kenal lelah, pengabdian yang tulus, tak banyak ngomongnya di kelas mengajarkan bahwa perbuatan nyata dan perilakulah yang dapat langsung menjadi contoh nyata bagi murid-muridnya. Dan semua itu tanpa disadari oleh saya. Saya bisa sampai disinipun berkat jasa beliau. Waktu dulu SMA memang belum sempat ada kata yang terucap untuk mengucapkan rasa terima kasih. Saat kuliah pun juga tak sempat, padahal sering kali bertemu. Hingga rasa ucapan terima kasih itu diucapakan lewat bisikan saat beliau sudah terbujur kaku. Dan saya menyadari bahwa saya telah terlamabat mengucapkan kata terima kasih.
Sosok guru, apalagi guru yang kurang populer merupakan sosok yang benar-benar menjadi pahlwan tanpa tanda jasa. Mengajar dengan sepenuh hati, tak mengharapkan imbalan dan balas jasa dari siapapun. Yang dilakukan hanyalah memberi, memberi dan meberi  dengan tulus. Kita semua bisa menjadi  seperti ini berkat jasa-jasa guru kita. Terimakasih pak Anton, lewatmu lah saya  diajarkan untuk melakukan segala sesuatu dengan hati.

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Persembahan Hati