Selasa, 25 April 2017
Sabtu, 22 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Ke Merauke edisi 10 "Makan Ulat Sagu" 12 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Selasa 12 April 2017
“Makan Ulat Sagu”
Kampung Aiwat terdapat sebuah empat persimpangan. Dari arah dermaga kecil milik kampung jalan mengarah kepada sebuah persimpangan. Dimana persimangan yang kekanan akan ada jalan setapak kecil yang dikanan kiri itu juga ada rumah hingga kurang lebih 300 m hingga jalan menuju ke arah hutan., Jika ambil jalan lurus juga sama, kurang kebih 300 m akan menuju kearah hutan yang ditumbuhi karet, Jika ambil ke kiri dari persimpangan akan terdapat jalan yang menbghubugkan ke pusat kota Asike. Jumlah penduduk kampung, banyak yang tinggal di sebelah kiri dari perempatan ini. Letak gerejanya di sudut kanan persimpangan.. Pagi itu saya jalan-jalan ke sebelah kanan sampai kehutan, setelah hari minggu kemaren saya jalan-jalan ke kiri persimpangan sampai rumah yang paling ujung.
Kemudian saya diajak untuk melihat penduduk yang sedang pangkur sagu di hutan. Perjalanan yang licin, harus hati-hati. Sesampai di hutan kami juga harus melewati lumpur lalu genangan air seperti rawa-rawa dengan kedalaman air yang tak terlampau dalam. Dalam hati semoga tak ada lintah yang menempel di kaki.
Melihat pohon-pohon sagu yang ada di hutan, serta ada yang sedang pangkur sagu. Salah satu penduduk ada juga yang sedang memanen ulat sagu dari batang sagu yang sengaja didiamkan beberapa waktu. Ada banya ulat sagu yang dimasukan dalam ember kecil.
Sesampainya di rumah ulat sagu itu kemudian dijadikan sebuah masakan oseng-oseng ulat sagu. Dan saya pun memakannya. Rasanya hanya terasa saat kita makan bagian ekor dan kakinya seperti makan kaki udang. Badannya tak ada rasa, karena isi badan di dalamnya hanya seperti air atau minyak.
Sebagai pelengkap oseng-oseng ulat sagu ditemani dengan sayur pelepah pisang. Dua makanan yang baru pertama kali saya coba..
“Tuhan memberikan rejeki pada hari ini dengan berbagai macam sarana yang ada”
“Makan Ulat Sagu”
Kampung Aiwat terdapat sebuah empat persimpangan. Dari arah dermaga kecil milik kampung jalan mengarah kepada sebuah persimpangan. Dimana persimangan yang kekanan akan ada jalan setapak kecil yang dikanan kiri itu juga ada rumah hingga kurang lebih 300 m hingga jalan menuju ke arah hutan., Jika ambil jalan lurus juga sama, kurang kebih 300 m akan menuju kearah hutan yang ditumbuhi karet, Jika ambil ke kiri dari persimpangan akan terdapat jalan yang menbghubugkan ke pusat kota Asike. Jumlah penduduk kampung, banyak yang tinggal di sebelah kiri dari perempatan ini. Letak gerejanya di sudut kanan persimpangan.. Pagi itu saya jalan-jalan ke sebelah kanan sampai kehutan, setelah hari minggu kemaren saya jalan-jalan ke kiri persimpangan sampai rumah yang paling ujung.
Kemudian saya diajak untuk melihat penduduk yang sedang pangkur sagu di hutan. Perjalanan yang licin, harus hati-hati. Sesampai di hutan kami juga harus melewati lumpur lalu genangan air seperti rawa-rawa dengan kedalaman air yang tak terlampau dalam. Dalam hati semoga tak ada lintah yang menempel di kaki.
Melihat pohon-pohon sagu yang ada di hutan, serta ada yang sedang pangkur sagu. Salah satu penduduk ada juga yang sedang memanen ulat sagu dari batang sagu yang sengaja didiamkan beberapa waktu. Ada banya ulat sagu yang dimasukan dalam ember kecil.
Sesampainya di rumah ulat sagu itu kemudian dijadikan sebuah masakan oseng-oseng ulat sagu. Dan saya pun memakannya. Rasanya hanya terasa saat kita makan bagian ekor dan kakinya seperti makan kaki udang. Badannya tak ada rasa, karena isi badan di dalamnya hanya seperti air atau minyak.
Sebagai pelengkap oseng-oseng ulat sagu ditemani dengan sayur pelepah pisang. Dua makanan yang baru pertama kali saya coba..
“Tuhan memberikan rejeki pada hari ini dengan berbagai macam sarana yang ada”
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner ke Merauke edisi 09"Burung Kaswari dan Rusa" 11 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Selasa 11 April 2017
“Melihat Burung Kaswari dan Rusa”
Hari ini di kampung ada Posyandu yang diadakan oleh pemerintah distrik Subur, Pelayanan Balita ada di balai posyandu sedangkan lansia di balai pertemuan warga. Jumlah balita di kampung Aiwat cukup banyak, dengan kesadaran mereka memnfaatkan kesempatan pemeriksaa n kesehatan yang diadakan setiap satu bulan sekali ini.
Selesai pulang dari posyandu saya diajak oleh anak-anak untuk melihat burung kaswari. Sudah ambil kamera, dan mau melangkah beberapa meter dari rumah saya disuruh balik lagi karena saya memakai kaos dan celana yang yang serba merah. Katanya anak-anak nanti kalau pakai kaos merah burung kaswari bisa marah. Saya tetap ngeyel, namun anak-anak tetap melarang saya. Maka saya ganti pakai celana panjang dan ganti kaos.
Sampai di tempat burung kaswari , ternyata burungnya besar, dan memang galak. Paruhnya jika mematok kyakanya bisa membuat luka yang dalam. Pemiliknya mendapat kaswari dari hutan sejak burug itu masih kecil sebesar ayam. Sekarang sudah tumbuh dewasa. Jika tumbuh dewasa bulu-bulunya akan berwarna hitam.
Ada juga penduduk yang memelihara rusa.. Rusa itu didapat juga saat berburu di hutan, dan ditangkap saat masih kecil. Kini rusa itu juga sudah tumbuh besar dengan tanduk. Nama rusa itu Digul kata anak yang sedang memberi makan rusa di siang itu.
“Cara merawat dan menyayangi makhluk ciptaan Tuhan ada berbagai macam cara”
“Melihat Burung Kaswari dan Rusa”
Hari ini di kampung ada Posyandu yang diadakan oleh pemerintah distrik Subur, Pelayanan Balita ada di balai posyandu sedangkan lansia di balai pertemuan warga. Jumlah balita di kampung Aiwat cukup banyak, dengan kesadaran mereka memnfaatkan kesempatan pemeriksaa n kesehatan yang diadakan setiap satu bulan sekali ini.
Selesai pulang dari posyandu saya diajak oleh anak-anak untuk melihat burung kaswari. Sudah ambil kamera, dan mau melangkah beberapa meter dari rumah saya disuruh balik lagi karena saya memakai kaos dan celana yang yang serba merah. Katanya anak-anak nanti kalau pakai kaos merah burung kaswari bisa marah. Saya tetap ngeyel, namun anak-anak tetap melarang saya. Maka saya ganti pakai celana panjang dan ganti kaos.
Sampai di tempat burung kaswari , ternyata burungnya besar, dan memang galak. Paruhnya jika mematok kyakanya bisa membuat luka yang dalam. Pemiliknya mendapat kaswari dari hutan sejak burug itu masih kecil sebesar ayam. Sekarang sudah tumbuh dewasa. Jika tumbuh dewasa bulu-bulunya akan berwarna hitam.
Ada juga penduduk yang memelihara rusa.. Rusa itu didapat juga saat berburu di hutan, dan ditangkap saat masih kecil. Kini rusa itu juga sudah tumbuh besar dengan tanduk. Nama rusa itu Digul kata anak yang sedang memberi makan rusa di siang itu.
“Cara merawat dan menyayangi makhluk ciptaan Tuhan ada berbagai macam cara”
Jumat, 21 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner ke Merauke edisi 08 "membuat memory cross card bersama ibu-ibu dan orang muda" 10 April 2017
Catatan Jejak Langkah Misioner, Senin 10 April 2017
Pagi hari beberapa warga sibuk angkut-angkut air untuk keperluan mandi bagi kami. Air-air dibawa dalam drijen-drijen kecil. Ada seorang bapak yang membawa dirgen air yang besar. Jadilah seharian kami nanti bisa mandi pagi dan sore hari. Untuk urusan mencuci, nampaknya tak bisa mengingat terbatas nya air yang ada. Selesai sarapan kami ke gereja karena ada janji pukul 08.00 pagi akan ada latihan kor buat tugas tri hari suci. Sampai di gereja, belum ada orang sama sekali, dan kami[un langsung gabung dengan beberapa bapak dan ibu yang sedang santai dibawah pohon melihat anak-anaknya yang sedang bermain bola. Dalam obrolan santai mereka menceritakan bahwa sudah dua tahun ini mereka berhenti sadap karet. Dikarenakan harga yang jatuh, dari yang dulu bisa dihargai per kilo Rp. 25.000,00 kini cuma dihargai Rp.7000,00. Harga yang jatuh ditambah harga kebutuhan pokok yang juga naik, maka mereka jadi malas sadap karet..Penduduk lebih suka menjual hasil dari kaben mereka berupa pisang, rambutan, dan durian..
Selang beberapa waktu nampaklah tiga orang anggota kor yang mengampiri kami, lalu mereka menuju ke gereja untuk membuka pintu gereja tempat kami akan latihan. Sambil membersihkan dan menyampu gereja dari sisa-sisa potongan daun palma, satu persatu anoota yang lainnya mualia berdatangan. Dan koordinator koor ibunya Yosefina dan Yosefina pun datang. Segeralah kami mulai latihan. Dengan suara khas yang yajam melengking khas ibu-ibu dari Aiwat kami latihan kora untyk tugsa kamis putih hingga sabtu suci.
Selesai latihan lagu penutup untuk sabtu suci, hujan turun dengan derasnya, dan saya tawarkan bagaimana jika kita latihan buat tugsa minggu paskahnya. Dan dengan semangat ibu-ibu menjawab…mari lanjutkan…
Hujan belum reda saat kami tlah selesai latihan untuk tugas minggu paskah, maka saya ajarkan mereka membuat cerita bergambar tentang Pekan Suci. Ibu-ibu saya ajarkan melipat dan merangkai potongan-potongan gambar untuk dibuat memory cross card cerita pekan suci. Sebagian bisa membuatnya dan bisa menggunakannya. Sebagian lagi kertas penuh dengan lem…dan sobek…;0
Lalu saya berpesan kepada mereka, minggu ini kita akan memasuki tri hari suci, jadi gunakanlah media ini untuk bercerita kepada anak-anak nya yang ada dirumah yaa… dan mereka menjawab yaaa…
“Untuk Tuhan mereka ingin memberikan yang terbaik yang mereka punya dengan bersusah payah datang latihan kor”
Pagi hari beberapa warga sibuk angkut-angkut air untuk keperluan mandi bagi kami. Air-air dibawa dalam drijen-drijen kecil. Ada seorang bapak yang membawa dirgen air yang besar. Jadilah seharian kami nanti bisa mandi pagi dan sore hari. Untuk urusan mencuci, nampaknya tak bisa mengingat terbatas nya air yang ada. Selesai sarapan kami ke gereja karena ada janji pukul 08.00 pagi akan ada latihan kor buat tugas tri hari suci. Sampai di gereja, belum ada orang sama sekali, dan kami[un langsung gabung dengan beberapa bapak dan ibu yang sedang santai dibawah pohon melihat anak-anaknya yang sedang bermain bola. Dalam obrolan santai mereka menceritakan bahwa sudah dua tahun ini mereka berhenti sadap karet. Dikarenakan harga yang jatuh, dari yang dulu bisa dihargai per kilo Rp. 25.000,00 kini cuma dihargai Rp.7000,00. Harga yang jatuh ditambah harga kebutuhan pokok yang juga naik, maka mereka jadi malas sadap karet..Penduduk lebih suka menjual hasil dari kaben mereka berupa pisang, rambutan, dan durian..
Selang beberapa waktu nampaklah tiga orang anggota kor yang mengampiri kami, lalu mereka menuju ke gereja untuk membuka pintu gereja tempat kami akan latihan. Sambil membersihkan dan menyampu gereja dari sisa-sisa potongan daun palma, satu persatu anoota yang lainnya mualia berdatangan. Dan koordinator koor ibunya Yosefina dan Yosefina pun datang. Segeralah kami mulai latihan. Dengan suara khas yang yajam melengking khas ibu-ibu dari Aiwat kami latihan kora untyk tugsa kamis putih hingga sabtu suci.
Selesai latihan lagu penutup untuk sabtu suci, hujan turun dengan derasnya, dan saya tawarkan bagaimana jika kita latihan buat tugsa minggu paskahnya. Dan dengan semangat ibu-ibu menjawab…mari lanjutkan…
Hujan belum reda saat kami tlah selesai latihan untuk tugas minggu paskah, maka saya ajarkan mereka membuat cerita bergambar tentang Pekan Suci. Ibu-ibu saya ajarkan melipat dan merangkai potongan-potongan gambar untuk dibuat memory cross card cerita pekan suci. Sebagian bisa membuatnya dan bisa menggunakannya. Sebagian lagi kertas penuh dengan lem…dan sobek…;0
Lalu saya berpesan kepada mereka, minggu ini kita akan memasuki tri hari suci, jadi gunakanlah media ini untuk bercerita kepada anak-anak nya yang ada dirumah yaa… dan mereka menjawab yaaa…
“Untuk Tuhan mereka ingin memberikan yang terbaik yang mereka punya dengan bersusah payah datang latihan kor”
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Merauke edisi 07 "Minggu Daun" 9 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Minggu 9 April 2017
“Perayaan Minggu Daun”
Perayaan minggu palma di kampung ini lebih dikenal dengan perayaan minggu daun. Ibdat dimulai pukuli 08.00 pagi. Saya pun berangkat sekitar pkl 07.30 dengan bersamaan lonceng yang menandakan akan diadakannya ibdat di gereja. Satu persatu umat mulai datang dengan membawa daun palma. Karena saya tak membawa saya pun minta ke salah satu umat untuk minta daun palma. Dan dikasihlah saya daun palma raksasa yang selama saya mengikuti perayaan minggu palma, baru kali ini saya mendapatkan daun palma yang super besar. Maklumlah daun palma yang tumbuh di hutan daunnya besar-besar. Sambil menanti perayaan ibadat minggu daun dimulai, anak-anak, orang muda dan dewasa sibuk menganyam daun palma yang mereka pegang. Mereka menganyam dengan indah daun palma yang mereka pegang.
Perayaan minggu palma dimulai dengan khusyuk dan khidmat. Urutan-urtannya juga sama seperti yang pada umumnya gereja rayakan. Kesederhanaan dan keterbatasan, tak mengahambaut umat dalam ikiut berperan akktif dalam luiturgi yang ada. Petugas lektor, pemazmur, kor, doa umat, kolekta, pe,mbawa persembahan semuanya sudah terbagi. Sebelumnnya mereka membaca pembagian tugsa yang ditempel oleh dewan stasi di peintu depan gereja.
Selesai mengikuti ibadat minggu pagi, anak-anak sekami yang datang satu persatu diabsen oleh ketua dewan stasi. Ada 44 anak-anak sekami yang terdaftar. Ketua dewan stasi mengatakan, ajak dan beritau anak-anak yang belum datang, bahwa besok kamis kita mulai perayaan trihari suci, suruhlah mereka untuk datang.. dalam hati saya betkata wah sungguh indah ya, ketua dewan stasi mampu mengikatakan anak-anak yang datang untuk mengajak anak-anak lain yang hari ini tidak datang.
Kemudian sehabis anak-anak keluar dari gereja, lalu kita adakan pertemuan sekami. Ada kurang kebih 40 anak yang datang. Saya ajarkan cerita dan makna peristiwa apa saja yang terjadi dalam pekan suci. Mulai dari Minggu palma hingga paskah. Sebagai kenang-kenagan, saya tinggalkan alat peraga pekan suci untuk adik-adik sekami di stasi Aiwat.
“kegembiraan, kerja sama dan kesaksian dalam melaksanaan ibdat minggu palma tampaklah nyata”
“Perayaan Minggu Daun”
Perayaan minggu palma di kampung ini lebih dikenal dengan perayaan minggu daun. Ibdat dimulai pukuli 08.00 pagi. Saya pun berangkat sekitar pkl 07.30 dengan bersamaan lonceng yang menandakan akan diadakannya ibdat di gereja. Satu persatu umat mulai datang dengan membawa daun palma. Karena saya tak membawa saya pun minta ke salah satu umat untuk minta daun palma. Dan dikasihlah saya daun palma raksasa yang selama saya mengikuti perayaan minggu palma, baru kali ini saya mendapatkan daun palma yang super besar. Maklumlah daun palma yang tumbuh di hutan daunnya besar-besar. Sambil menanti perayaan ibadat minggu daun dimulai, anak-anak, orang muda dan dewasa sibuk menganyam daun palma yang mereka pegang. Mereka menganyam dengan indah daun palma yang mereka pegang.
Perayaan minggu palma dimulai dengan khusyuk dan khidmat. Urutan-urtannya juga sama seperti yang pada umumnya gereja rayakan. Kesederhanaan dan keterbatasan, tak mengahambaut umat dalam ikiut berperan akktif dalam luiturgi yang ada. Petugas lektor, pemazmur, kor, doa umat, kolekta, pe,mbawa persembahan semuanya sudah terbagi. Sebelumnnya mereka membaca pembagian tugsa yang ditempel oleh dewan stasi di peintu depan gereja.
Selesai mengikuti ibadat minggu pagi, anak-anak sekami yang datang satu persatu diabsen oleh ketua dewan stasi. Ada 44 anak-anak sekami yang terdaftar. Ketua dewan stasi mengatakan, ajak dan beritau anak-anak yang belum datang, bahwa besok kamis kita mulai perayaan trihari suci, suruhlah mereka untuk datang.. dalam hati saya betkata wah sungguh indah ya, ketua dewan stasi mampu mengikatakan anak-anak yang datang untuk mengajak anak-anak lain yang hari ini tidak datang.
Kemudian sehabis anak-anak keluar dari gereja, lalu kita adakan pertemuan sekami. Ada kurang kebih 40 anak yang datang. Saya ajarkan cerita dan makna peristiwa apa saja yang terjadi dalam pekan suci. Mulai dari Minggu palma hingga paskah. Sebagai kenang-kenagan, saya tinggalkan alat peraga pekan suci untuk adik-adik sekami di stasi Aiwat.
“kegembiraan, kerja sama dan kesaksian dalam melaksanaan ibdat minggu palma tampaklah nyata”
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Ke Merauke edisi 06 "Berangkat Ke Kampung Aiwat" 8 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner, Sabtu 8 April 2017
“Berangkat ke Stasi Aiwat”
(tak ada listrik, sinyal dan kesulita air)
Sabtu pagi sesudah makan pagi, akhirnya kita berlima berpencar ke berbagai stasi yang telah dibagi pada malam hari. Saya mendapatkan stasi Aiwat. Stasi Aiwat dari paroki Getentiri hanya bisa ditempuh dengan naik kapal. Saya naik speed boat dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam. Dengan speed boat yang melaju cepat, dikanan kiri terhampar hijaunaya hutan dengan sekali-kali hempasan ombak sungai Digul yang membuat kapal agak tergoncang mewarnai perjalanan kami.
Akhirnya tak terasa satu setengah jam lamanya perjalanan, saya pun sampai di pinggir desa Aiwat. Bersamaaan dengan menepinya perahu kami, ternyata bapa ketua dewan stasi Aiwat yang berencana datang menjemput juga datang menepi. Ternyata karena keterlabatan, informasi, kami sudah datang terlebih dahulu. Jadi tak ada penyambutan, dan kami bersama anak dari ketua dewan stasi membawa barang-barang naik ke atas. Sampai di atas kami di sambut oleh ketua adat desa Aiwat dan membawa kami ke tempat istirahat di tempat orang biasanya mengadakan posyandu. Ngobrol bersama ketua dewan stasi dan ketua dewan adat sampai makan siang datang. Rambutan manis yang ada di depan kami beritirahat menambah sejuknya hawa panas yang menyengat.. Entah tak terhitung berapa kali ketua dewan stasi dan ketua adat minta maaf kepada kami atas keterlambantan dalam menyambut kami.
Sabtu sore, kami bersama para ibu-ibu serta anak-anak remaja. Latihan kor buat persiapan minggu daun. Disana minggu palma dikenal dengan sebutan minggu daun. Kami latihan sampai gelap datang dan hujan mulai turun. Tak ada penerangan listrik, hanya menggunakan nyala lilin. Sambil menunggu hujan reda, maka kami isi perut dengan makananan yang disediakan oleh masyarakat. Setelah hujan sedikit reda, saya pun pindah ke tepat kami bermalam selama kurang lebih satu minggu ditempat rumah ibu bidan. Rumah tersebut masih kosong, belum ditempati. Jaraknya kurang lebih 150 m dari gereja. Perjalan malam yang gelap, hanya dibantu dengan nyala lampu senter, terhenti oleh ular bisa hitam yang lewat. Seketika itu ketu dewan stasi ambil batang yang ada didsekitar lalu memukul ular itu, hingga ular tersebut kabur.
Akhirnya sampailah ditempat kami menginap. Dengan nyala lampu lilin. Saya mulai meletakan semua baraang-baranng yang dibawa. Ketua lingkungan juga datang untuk meminjamkan lentera dari minyak tanah sebagai penerangan. Sungguh suatu kebersamaan masyarakat yang kompak, mulai dari ketua adat, ketua dewan stasi, ketua lingkungan dan masyarakat bahu membahu untuk tamu yang datang. Walaupun gelap dan hujan kesana kemari mempersiapakan perlengkapan yang kami butuhkan, sungguh membuat saya kagum. Sabtu itu, ketua adat juga sedang mengusahakan bantuan bahan bakar dari perusahanan untuk pelaksananan rangkaian pekan suci Paskah. Dan harapannya senin sudah sampai perusahaan dan pelaksaan tri hari suci paskah sudah ada nyala lampu.
“Kesederhanaan, kejujuran dan usaha yang bisa dilakukan untuk memberikan yang terbaik bagi yang datang tanpa mengenal lelah”
“Berangkat ke Stasi Aiwat”
(tak ada listrik, sinyal dan kesulita air)
Sabtu pagi sesudah makan pagi, akhirnya kita berlima berpencar ke berbagai stasi yang telah dibagi pada malam hari. Saya mendapatkan stasi Aiwat. Stasi Aiwat dari paroki Getentiri hanya bisa ditempuh dengan naik kapal. Saya naik speed boat dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam. Dengan speed boat yang melaju cepat, dikanan kiri terhampar hijaunaya hutan dengan sekali-kali hempasan ombak sungai Digul yang membuat kapal agak tergoncang mewarnai perjalanan kami.
Akhirnya tak terasa satu setengah jam lamanya perjalanan, saya pun sampai di pinggir desa Aiwat. Bersamaaan dengan menepinya perahu kami, ternyata bapa ketua dewan stasi Aiwat yang berencana datang menjemput juga datang menepi. Ternyata karena keterlabatan, informasi, kami sudah datang terlebih dahulu. Jadi tak ada penyambutan, dan kami bersama anak dari ketua dewan stasi membawa barang-barang naik ke atas. Sampai di atas kami di sambut oleh ketua adat desa Aiwat dan membawa kami ke tempat istirahat di tempat orang biasanya mengadakan posyandu. Ngobrol bersama ketua dewan stasi dan ketua dewan adat sampai makan siang datang. Rambutan manis yang ada di depan kami beritirahat menambah sejuknya hawa panas yang menyengat.. Entah tak terhitung berapa kali ketua dewan stasi dan ketua adat minta maaf kepada kami atas keterlambantan dalam menyambut kami.
Sabtu sore, kami bersama para ibu-ibu serta anak-anak remaja. Latihan kor buat persiapan minggu daun. Disana minggu palma dikenal dengan sebutan minggu daun. Kami latihan sampai gelap datang dan hujan mulai turun. Tak ada penerangan listrik, hanya menggunakan nyala lilin. Sambil menunggu hujan reda, maka kami isi perut dengan makananan yang disediakan oleh masyarakat. Setelah hujan sedikit reda, saya pun pindah ke tepat kami bermalam selama kurang lebih satu minggu ditempat rumah ibu bidan. Rumah tersebut masih kosong, belum ditempati. Jaraknya kurang lebih 150 m dari gereja. Perjalan malam yang gelap, hanya dibantu dengan nyala lampu senter, terhenti oleh ular bisa hitam yang lewat. Seketika itu ketu dewan stasi ambil batang yang ada didsekitar lalu memukul ular itu, hingga ular tersebut kabur.
Akhirnya sampailah ditempat kami menginap. Dengan nyala lampu lilin. Saya mulai meletakan semua baraang-baranng yang dibawa. Ketua lingkungan juga datang untuk meminjamkan lentera dari minyak tanah sebagai penerangan. Sungguh suatu kebersamaan masyarakat yang kompak, mulai dari ketua adat, ketua dewan stasi, ketua lingkungan dan masyarakat bahu membahu untuk tamu yang datang. Walaupun gelap dan hujan kesana kemari mempersiapakan perlengkapan yang kami butuhkan, sungguh membuat saya kagum. Sabtu itu, ketua adat juga sedang mengusahakan bantuan bahan bakar dari perusahanan untuk pelaksananan rangkaian pekan suci Paskah. Dan harapannya senin sudah sampai perusahaan dan pelaksaan tri hari suci paskah sudah ada nyala lampu.
“Kesederhanaan, kejujuran dan usaha yang bisa dilakukan untuk memberikan yang terbaik bagi yang datang tanpa mengenal lelah”
Kamis, 20 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Ke Merauke edisi 05 "Perjalanan 12 jam ke Paroki Getentiri" 7 April 2017
Jumat pagi 7 April pkl 07.00 dengan diawali dengan berdoa, akhirnya dua mobil rombongan teman-teman JLM dan teman-teman KKI Keuskupan Agung Merauke akhirnya meluncur menuju paroki getentiri. Perjalanan darat kurang lebih 7-8 jam menuju Asiki dari yang direncanakan ternyata sampai di Asiki memakan waktu 12 jam. Perjalanan sempat terhenti beberapa jam, dikarenakan mobil yang saya tumpangi terjebak di dalam lumpur yang dalam karena tanjakan yang terlalu terjal sehingga mobil hanya bisa terperosok di dalamnya. Untuk menarik mobil, kamipun juga harus menunggu truk yang ada didepan yang mengalami nasib yang sama. Truk yang ada didepan kami rodanya juga terperosok dalam. Setelah menunggu lama akhirnya truk bisa berjalan maju, dan mobil yang satunya bisa menarik kami melewati tanjakan lumpur yang dalam. Lalu perjalananpun dilanjutkan. Kita istirahat pkl 14.00 untuk makan siang serta untuk mendinginkan mesin mobil. Perjalanan kami lanjut menuju ke Asiki. Perjalanan ini memperlihatkam kami, ribuan hektar hutan sudah hilang dan ditanami oleh pohon sawit. Sungguh memperihatinkan...
Pukul 18.30 akhirnya kami sampai di Asiki, sempat turun naik dua kali dari mobil akhirnya kami bisa berangkat naik kapal menuju paroki gententiri. Menikmatii sungai digul di malam hari dengan ditemani bintang2 dilangit perjalanan memakan waktu kurang lebih setengah jam lebih. Sampailah kita di gententiri dengan disambut pastor, serta umat disana kami turun satu persatu. Hujan rintik2 menyambut kedatangan kami. Santap malam sudah disediakan dan kami santap malam bersama-sama dengan mereka. Seusai santap malam kami dibagi tugas pelayanan tri hari suci di stasi-stasi dan saya mendapatkan stasi Aiwat. Dan untuk pertama kalinya kami berpisah satu dengan yang lainnya...
Nantikan cerita saya di stasi aiwat..
Jumat 7 April 2017 pkl 23.23
Jumat, 07 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Ke Merauke edisi 04 "Jalan-jalan Sore di Merauke"
Setelah kami istirahat siang, sore hari kami diajak oleh suster dan teman-teman untuk jalan-jalan sore. Menikmati sore di Merauke dengan mengunjungi patung Hati Kudus Yesus di dekat bandara Mopah Merauke. Patung yang tinggi besar menghadap datangnya arah pesawat yang mau landing seakan menyambut semua orang yang akan datang ke Merauke. Di bagian bawah patung, ada relief yang menceritakan tentang misionaris pertama saat di Merauke. Patung ini terletak di dekat bandara dan disekitar patung ada stasi-stasi buat doa jalan salib.
Dari tempat patung Hati Kudus Yesus, kami diajak untuk mengunjungi gereja katolik pertama kali yang ada di Merauke, gereja Santa Theresia. Disamping gereja juga terdapat makam para misionaris awal yang mengajarkan ajaran iman katolik. Disekitar makam, juga ada gambar cerita tentang sejarah misionaris pertama yang ada di Merauke. Gereja kecil, yang menjadi saksi pertama kali, tetap dibiarkan bentuknya sama seperti dahulu.
Jalan-jalan sore selanjutnya kita menuju pantai satu lampu, sampai langit gelap...
(Kamis 06 April 2017 pkl 20.00)
Perjalanan selanjutnya 8 jam lebih perjalanan darat menuju paroki Getentiri....zzzZ
Dari tempat patung Hati Kudus Yesus, kami diajak untuk mengunjungi gereja katolik pertama kali yang ada di Merauke, gereja Santa Theresia. Disamping gereja juga terdapat makam para misionaris awal yang mengajarkan ajaran iman katolik. Disekitar makam, juga ada gambar cerita tentang sejarah misionaris pertama yang ada di Merauke. Gereja kecil, yang menjadi saksi pertama kali, tetap dibiarkan bentuknya sama seperti dahulu.
Jalan-jalan sore selanjutnya kita menuju pantai satu lampu, sampai langit gelap...
(Kamis 06 April 2017 pkl 20.00)
Perjalanan selanjutnya 8 jam lebih perjalanan darat menuju paroki Getentiri....zzzZ
Kamis, 06 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner ke Merauke edisi 03 : "Sampai Kita Di Merauke"
Pemberitauan dari pilot, bahwa sebentar lagi kita akan mendarat membangunkan saya dari tidur setelah beberapa jam yang lalu menyantap menu makan pagi. Tak terasa 3 jam lamanya perjalanan dari Makassar menuju Merauke saya lalui. Dan akhirnya sampai lah kita di Merauke pkl 09.00. Merauke sebuah kota yang tak pernah terbersit dipikiran saya bisa berkunjung ke sini, namun Tuhan berkata kunjungilah Merauke. Merauke aku datang....dengan disambut terik mentari yang panas, saya mencoba beradaptasi dengan cuaca ini.
Setelah menunggu agak sedikit lama, akhirnya barang-barang yang kami bawa satu persatu muncul, dan kami segera keluar dari bandara. Diluar bandara kami sudah disambut oleh dirdios KKI keuskupan Merauke Sr.Getrudis serta teman-teman KKI. Perjalanan kami lanjutkan menuju wisma Keuskupan, untuk kulo nuwun dengan para romo yang ada di wisma keusukupan. Kami disambut oleh romo yang menceritakan tentang situasi, kondisi serta keramah tamahan suku-suku yang ada di tempat kami live in. Tantangan yang sedang dihadapi yaitu mulainya investasi pembukaan lahan hutan untuk dikelola menjadi tanaman industri, seperti kelapa sawit menjadi masalah yang masih dihadapi. Padahal hutan bagi suku-suku di pedalaman mereka sebut sebagai Mama. Mama, sebagai tempat sumber kehidupan, tempat mencari makan. Jika hutan yang mereka punya sudah diambil alih oleh pihak luar, maka mereka harus pergi, tak bisa tinggal, dan tak bisa lagi mencari makan dari hutan. Maka nasib anak cucu mereka, siapa lagi yang bisa menjamin. Sementara keuntungan dari pembukaan lahan hanya akan dinikmati oleh para investor. Penyadaran akan arti pentingnya hutan, akan arti pentingnya menjaga ekosisitem alam perlu dilakukan sejak dini. Agar masyarakat tak mudah untuk melepaskan hutan-hutan yang mereka punyai untuk diambil alih oleh pihak luar.
Wujud gereja yang ada di stasi-stasi yang ada di pedalaman juga sangat bervariasi dan beragam. Ada yang sudah bagus karena dekat dengan kawasan industri ada yang masih sangat sederhana. Yang jelas masyarakat disana sungguh ramah-ramah.
Selesai kulo nuwun dan mendengarkan penjelasan dari romo, kamipun diantar ke tempat kami bermalam. Tempat retreat yang dipunyai oleh keuskupan menjadi tempat kami bermalam selama kami berada di kota Merauke. Sebelum makan siang suster Getrudis juga menceritakan tentang pengalaman selama ini mendampingi perayaan pekan suci di daerah pedalaman. Banyak hal-hal yang menarik dan terasa menyenangkan mendengarkan cerita beliau. Salah satu resepnya kalau kita mau mengajak orang tua disana untuk ibdadat, yaitu kita dekati dulu anak-anak kecilnya, kita ajak mereka bernyanyi dan bermain. Nanti kita tinggal bilang ke anak, sebentar lagi kita mau doa. Secara spontan anak-anak akan bilang ke orang tua mereka untuk sebentar lagi ada doa.
Jam 13.00 kitapun akhirnya istirahat di kamar masing-masing...
(Kamis 6 April 2017 pkl 13.00)
Setelah menunggu agak sedikit lama, akhirnya barang-barang yang kami bawa satu persatu muncul, dan kami segera keluar dari bandara. Diluar bandara kami sudah disambut oleh dirdios KKI keuskupan Merauke Sr.Getrudis serta teman-teman KKI. Perjalanan kami lanjutkan menuju wisma Keuskupan, untuk kulo nuwun dengan para romo yang ada di wisma keusukupan. Kami disambut oleh romo yang menceritakan tentang situasi, kondisi serta keramah tamahan suku-suku yang ada di tempat kami live in. Tantangan yang sedang dihadapi yaitu mulainya investasi pembukaan lahan hutan untuk dikelola menjadi tanaman industri, seperti kelapa sawit menjadi masalah yang masih dihadapi. Padahal hutan bagi suku-suku di pedalaman mereka sebut sebagai Mama. Mama, sebagai tempat sumber kehidupan, tempat mencari makan. Jika hutan yang mereka punya sudah diambil alih oleh pihak luar, maka mereka harus pergi, tak bisa tinggal, dan tak bisa lagi mencari makan dari hutan. Maka nasib anak cucu mereka, siapa lagi yang bisa menjamin. Sementara keuntungan dari pembukaan lahan hanya akan dinikmati oleh para investor. Penyadaran akan arti pentingnya hutan, akan arti pentingnya menjaga ekosisitem alam perlu dilakukan sejak dini. Agar masyarakat tak mudah untuk melepaskan hutan-hutan yang mereka punyai untuk diambil alih oleh pihak luar.
Wujud gereja yang ada di stasi-stasi yang ada di pedalaman juga sangat bervariasi dan beragam. Ada yang sudah bagus karena dekat dengan kawasan industri ada yang masih sangat sederhana. Yang jelas masyarakat disana sungguh ramah-ramah.
Selesai kulo nuwun dan mendengarkan penjelasan dari romo, kamipun diantar ke tempat kami bermalam. Tempat retreat yang dipunyai oleh keuskupan menjadi tempat kami bermalam selama kami berada di kota Merauke. Sebelum makan siang suster Getrudis juga menceritakan tentang pengalaman selama ini mendampingi perayaan pekan suci di daerah pedalaman. Banyak hal-hal yang menarik dan terasa menyenangkan mendengarkan cerita beliau. Salah satu resepnya kalau kita mau mengajak orang tua disana untuk ibdadat, yaitu kita dekati dulu anak-anak kecilnya, kita ajak mereka bernyanyi dan bermain. Nanti kita tinggal bilang ke anak, sebentar lagi kita mau doa. Secara spontan anak-anak akan bilang ke orang tua mereka untuk sebentar lagi ada doa.
Jam 13.00 kitapun akhirnya istirahat di kamar masing-masing...
(Kamis 6 April 2017 pkl 13.00)
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner Ke Merauke edisi 02 "Cerita Bandara"
Perjalanan dimulai dari gereja kami tercinta gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran dengan dilepas oleh Romo paroki kami Yohanes Dwi Harsanto, Pr. Sekitar pukul 16.30 kamipun melaju menuju ke bandara Adisucipto. Jalan macet, apalagi ditambah hujan yang menguyur kota Jogja, membuat perjalanan agak tersendat. Karena sudah tergesa-gesa, kamipun melupakan teman-teman JLM 2 yang berniat melepas kepergian kami (maaf ya, teman-teman...). Mereka sudah sampai bandara, namun karena situasi kami tergesa-gesa langsung masuk ke terminal keberangkatan. Niat kami setelah mengurus semua bagasi, kami akan keluar untuk menemui teman-teman JLM 2, namun sayang ternyata sistem dimaskapai tempat membawa kami ke Merauke sedang down. Sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk check in, mengingat semuanya dilakukan dengan manual. Alhasil waktu yang mepet dengan keberangkatan, kami tak jadi keluar lagi bandara.
Akibat sistem nya sedang down, maka terjadilah banyak nomer kursi yang kembar. Seperti punya kami, nomer yang tertera di tiket ternyata sudah diduduki orang. Terpaksa kami diarahkan untuk mencari tempat yang masih kosong. Untung saja, masih ada yang kosong. Coba jika semuanya penuh.... Akhirnya kami berangkat tepat pkl 21.15 WIB dan sampai di bandara internasional Sultan Hasanudin Makassar.
Bandara yang penuh kenangan dalam kisah perjalanan saya, memulai karya pelayanan. Dari tahun 2013 hingga tahun 2017, setiap tahun pasti saya singgah di bandara ini. Sudah lima kali tercatat saya singgah di bandara ini, namun belum pernah sekalipun saya berkeliling kota Makassar. Maklum dibandara ini hanya singgah saja, lalu lanjut perjalanan ke daerah lain. Ingat saat pertama kali singgah dibandara ini pukul 08.00 pagi dan penerbangan selanjutnya pukul 14.30 ke Kendari. Kami berdua, hanya menahan lapar sepanjang hari itu, mengingat uang saku yang kita bawa cuma terbatas. Sepanjang hari itu kami berdua hanya minum dua cangkir coffie mix seharga Rp.32.000,00 waktu itu. Mau makan, rasanya sayang...mengingat mahal sekali harga makanan di bandara 😀
Sekarang kami juga akan menunggu agak lama...sambil menunggu, kamipun cemal cemil sate lilit dan sate merah dari sate ratu yang kami bawa dari jogja. Irit pengeluaran...mengingat kami masih 20 hari lagi di Merauke 😀Yup...berharap lekas pukul 04.00 dan saat membuka mata di pagi hari, kami sudah sampai di Merauke.(coretan Kamis 6 April 2017 pkl 01.26 )
Akibat sistem nya sedang down, maka terjadilah banyak nomer kursi yang kembar. Seperti punya kami, nomer yang tertera di tiket ternyata sudah diduduki orang. Terpaksa kami diarahkan untuk mencari tempat yang masih kosong. Untung saja, masih ada yang kosong. Coba jika semuanya penuh.... Akhirnya kami berangkat tepat pkl 21.15 WIB dan sampai di bandara internasional Sultan Hasanudin Makassar.
Bandara yang penuh kenangan dalam kisah perjalanan saya, memulai karya pelayanan. Dari tahun 2013 hingga tahun 2017, setiap tahun pasti saya singgah di bandara ini. Sudah lima kali tercatat saya singgah di bandara ini, namun belum pernah sekalipun saya berkeliling kota Makassar. Maklum dibandara ini hanya singgah saja, lalu lanjut perjalanan ke daerah lain. Ingat saat pertama kali singgah dibandara ini pukul 08.00 pagi dan penerbangan selanjutnya pukul 14.30 ke Kendari. Kami berdua, hanya menahan lapar sepanjang hari itu, mengingat uang saku yang kita bawa cuma terbatas. Sepanjang hari itu kami berdua hanya minum dua cangkir coffie mix seharga Rp.32.000,00 waktu itu. Mau makan, rasanya sayang...mengingat mahal sekali harga makanan di bandara 😀
Sekarang kami juga akan menunggu agak lama...sambil menunggu, kamipun cemal cemil sate lilit dan sate merah dari sate ratu yang kami bawa dari jogja. Irit pengeluaran...mengingat kami masih 20 hari lagi di Merauke 😀Yup...berharap lekas pukul 04.00 dan saat membuka mata di pagi hari, kami sudah sampai di Merauke.(coretan Kamis 6 April 2017 pkl 01.26 )
Rabu, 05 April 2017
Catatan Harian Jejak Langkah Misioner ke Merauke edisi 01 "Pengantar"
Hari ini tanggal 5 April 2017, tepatnya malam nanti saya bersama teman-teman Jejak Langkah Misioner #3 (JLM) Keuskupan Agung Semarang akan memulai perjalanan misi ke ujung Timur Indonesia yaitu di Merauke Papua Barat. Selama kurang lebih 20 hari, sebuah pengalaman baru, sebuah pelajaran baru akan diterima. Seperti sebuah gelas yang setengah isi, saya akan mengisi dengan sebuah pengalaman hidup dan pelajaran hidup dari sahabat-sahabat yang ada di daerah pedalaman di Papua. Kehadiran, sapaan bahwa saya adalah satu saudara, satu keluarga akan saya alami selama kurang lebih 20 hari. Proses lebih banyak mendengar, lebih banyak memahami, lebih banyak melihat dan merasakan suasana kehidupan masyarakat Papua akan coba saya jalani dan nikmati. Seperti peralatan elektronik gadget yang perlu di charge. Saya akan menjadikan pengalaman ini sebuah sarana untuk mengcharge diri saya, dari berbagai macam sisi.
Selama di Merauke, saya juga akan membagikan setengah gelas yang sudah saya siapkan. Setengah gelas yang berisi pengalaman-pengalaman hidup selama ini, pelajaran katekese yang sudah diterima selama ini, serta keterampilan yang telah Tuhan berikan kepada saya. Selama perayaan pekan suci paskah, misi JLM 3 salah satunya membantu perayaan pekan suci, mulai dari minggu palma hingga perayaan paskah. Memberikan katekese tentang pekan suci kepada umat di stasi-stasi. Serta membantu perayaan ibadat sabda selama pekan suci, mengingat tenaga imam yang terbatas di paroki Getentiri, yang harus menjangkau banyaknya stasi dan medan yang cukup berat.
Perjumpaan dengan orang muda juga akan diadakan dalam tajuk Temu OMK "Jangan Takut." Jangan takut untuk bermimpi dan mengejar cita-cita. Jangan takut untuk menyuarakan suara hati nurani untuk menjaga dan merawat potensi alam tempat tinggal kita. Perjumpaan dengan adik-adik sekami juga akan kami adakan dalam rangka merayakan Paskah bersama. Kita akan bergembira, bermain, bernyanyi dan menari bersama merayakan Paskah. Dan himbauan adik-adik sekami untuk merawat alam ciptaan Tuhan akan kami hadirkan dalam bentuk poster yang dibuat oleh adik-adik sekami. Perjumpaan dan saling belajar satu dengan yang lainnya dengan para pendamping sekami KKI di Merauke tentu juga tidak akan kami lewatkan.
Ini teman-teman sekedar gambaran apa saja yang akan dilaksana di sana. Tentu apa yang dipersiapkan bisa saja berubah menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Yang penting bawa hati, lakukan sepenuh hati. Pada kesempatan ini saya juga pamit, mungkin selama 20 hari ini no hp, wa, fb,bb, ig saya tidak aktif mengingat di daerah pedalaman sinyal sangat jarang. Kalau ada sinyal mungkin bisa saya bales 😊. JLM #3 akan berangkat 5 April dan akan kembali lagi ke Jogja 23 April 2017. Saling mendoakan ya, teman-teman...selamat mempersiapkan dan merayakan pekan Suci. SELAMAT PASKAH...Tuhan memberkati dan tetap semangat....
"Sebuah jejak mungkin akan hilang, tetapi ingatan akan keindahan alam, kebersamaan, rasa kekeluargaan akan membekas dengan indah dalam ingatan kita."
(Coretan 5 April 2017 Pkl 10.00)
Selama di Merauke, saya juga akan membagikan setengah gelas yang sudah saya siapkan. Setengah gelas yang berisi pengalaman-pengalaman hidup selama ini, pelajaran katekese yang sudah diterima selama ini, serta keterampilan yang telah Tuhan berikan kepada saya. Selama perayaan pekan suci paskah, misi JLM 3 salah satunya membantu perayaan pekan suci, mulai dari minggu palma hingga perayaan paskah. Memberikan katekese tentang pekan suci kepada umat di stasi-stasi. Serta membantu perayaan ibadat sabda selama pekan suci, mengingat tenaga imam yang terbatas di paroki Getentiri, yang harus menjangkau banyaknya stasi dan medan yang cukup berat.
Perjumpaan dengan orang muda juga akan diadakan dalam tajuk Temu OMK "Jangan Takut." Jangan takut untuk bermimpi dan mengejar cita-cita. Jangan takut untuk menyuarakan suara hati nurani untuk menjaga dan merawat potensi alam tempat tinggal kita. Perjumpaan dengan adik-adik sekami juga akan kami adakan dalam rangka merayakan Paskah bersama. Kita akan bergembira, bermain, bernyanyi dan menari bersama merayakan Paskah. Dan himbauan adik-adik sekami untuk merawat alam ciptaan Tuhan akan kami hadirkan dalam bentuk poster yang dibuat oleh adik-adik sekami. Perjumpaan dan saling belajar satu dengan yang lainnya dengan para pendamping sekami KKI di Merauke tentu juga tidak akan kami lewatkan.
Ini teman-teman sekedar gambaran apa saja yang akan dilaksana di sana. Tentu apa yang dipersiapkan bisa saja berubah menyesuaikan situasi dan kondisi yang ada. Yang penting bawa hati, lakukan sepenuh hati. Pada kesempatan ini saya juga pamit, mungkin selama 20 hari ini no hp, wa, fb,bb, ig saya tidak aktif mengingat di daerah pedalaman sinyal sangat jarang. Kalau ada sinyal mungkin bisa saya bales 😊. JLM #3 akan berangkat 5 April dan akan kembali lagi ke Jogja 23 April 2017. Saling mendoakan ya, teman-teman...selamat mempersiapkan dan merayakan pekan Suci. SELAMAT PASKAH...Tuhan memberkati dan tetap semangat....
"Sebuah jejak mungkin akan hilang, tetapi ingatan akan keindahan alam, kebersamaan, rasa kekeluargaan akan membekas dengan indah dalam ingatan kita."
(Coretan 5 April 2017 Pkl 10.00)