Sering kali orang menyepelekan dengan pelajaran yang
satu ini, mata pelajaran yang paling mudah itu katanya sih. Hanya masuk, duduk
diam mendengarkan, tak banyak bertingkah pasti nilainya akan bagus. Kalau
nilainya sampai jelek, pasti karena kebangetan bandel dan ngeyelnya. Pelajaran
itu adalah pelajaran pendidikan agama.
Tak banyak orang yang memilih menjadi guru pendidikan agama di
sekolah. Kuliah di jurusan pendidikan
agama, jika mereka benar-benar merasa tak terpanggil, tentu tak akan
dijalaninya. Guru yang mengajar pelajaran ini seringkali dipandang sebelah mata, banyak yang bolos
ketika pelajaran agama berlangsung. Teringat dahulu saat SMA dari kelas satu
sampai kelas tiga, sempat beberapa kali membolos. Bahkan dulu sempat pak Anton
(nama guru agama di sekolahan saya), mencari anak-anak yang membolos ,
mengingat jumlah siswa di ruangannya kok tak seperti biasanya, sangat sedikit.
Lalu diketemukanlah segerombolah anak-anak yang baru mencari jati diri sedang
asyik makan mie ayam di dekat pasar. Maklumlah sekolah yang dekat dengan pasar,
jadi tersedia berbagai jenis makanan dan beberapa tempat makan.
Dulu saat menjadi siswa SMA, mungkin tak menyadari
kenapa dulu sering meremehkan pelajaran yang satu ini. Padahal kita dididik dan
dibesarkan oleh orang tua kita masing-masing dengan pendidikan agama dan budi
pekerti. Melalui contoh nyata dari orang tua serta lingkungan yang ikut
mendidik dan membesarkan iman kita. Namun saaat pelajaran agama di sekolah,
kenapa masih juga sering bolos ya?
Jika dirasakan sungguh hebatnya menjadi guru agama,
yang sekarang ini jumlahnya sangat sedikit. Baru setalah dewasa ini baru
berpikir menjadi guru agama itu tak mudah. Seperti apa yang dulu dijalani oleh
pak Anton. Pergi mengajar ke sekolah dengan naik bis, padahal jarak dari rumah
ke jalan raya ada kurang lebih 500 meter.
Selain mengajar di sekolahan ku pak Anton juga mengajar di sekolahan
lainnya. Dari rumah ke sekolahan, lalu ke sekolahan lainnya dijalaninya dengan
senang hati. Tak ada raut wajah keterpaksaan, tak ada raut wajah yang
menunjukan kelelahan. Semua itu dijalaninya dengan sepenuh hati.
Ketika diadakan ujian, misalnya satu hari ada dua
mata pelajaran yang diujikan seperti jam pertama matematika dan jam kedua
pendidikan agama. Pastilah yang mendapat porsi terbesar adalah belajar
matematika sampai larut malam, belajar pendidikan agama bisa dilakukan esok
hari. Mengingat pelajaran agama dipandang mudah dan agak disepelekan oleh kita.
“ah paling yang keluar hanya itu-itu saja…” Bagi orang yang hanya mengejar
tuntutan nilai, maka akan sangat mudah untuk mendapatkan nilai baik pendidikan
agama. Namun lebih dalam sebenarnya bukanlah nilai akhir yang dihasilkan,
melainkan sejauh mana nilai-nilai agama yang diajarkan oleh para guru kita itu
mampu menyentuh hati nurani kita, mampu merubah cara pandang kita dalam menghadapi
persoalan dengan melibatkan hati nurani kita. Saat kita berbuat salah, saat
kita membolos, saat kita mencontek sebenarnyalah hati nurani kita sudah berkata
: “ itu salah…jangan dilakukan…” namun apa yang terjadi, kita tetap saja
melakukan perbuatan itu. Tentu kita bisa lihat contoh nyata oknum pejabat,
orang-orang pintar di dewan, bahkan menteri juga banyak yang terseret kasus
korupsi. Mereka semua itu pintar, mungkin
nilai mata pelajaran eksak dan pendidikan agama dulu nilainya bagus, namun
lagi-lagi sayang mereka tak mendengarkan suara hatinya.
Jika sejak dini anak-anak diajarkan untuk mencoba
mendengarkan suara hati, tentu bangsa ini tak akan terjebak pada kasus korupsi
yang telah mengurita di mana-mana. Saat pendidikan budi pekerti dihapuskan.
Saat jam pendidikan agama hanya sesaat saja. Dan tuntutan untuk mengejar nilai
kelulusan harus dibebankan ke siswa. Orang tua dan murid yang tahu hanyalah
bagaimana lulus dengan syarat yang telah ditentukan oleh sekolahan dengan berbagai macam cara. Mengikut sertakan
bimbingan belajar hingga larut malam dan tak jarang anak menjadi terbatas dalam
bersosialisasi. Tuntutan yang begitu berat jika tidak didampingi dengan
pendidikan moral, budi pekerti dan agama yang baik yang ada hanyalah pikiran
yang dangkal. Akibatnya tawuran, saling bunuh, pengerusakan, narkoba dan yang
lebih parahnya lagi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu seperti
budaya korupsi yan terjadi saat ini.
Pemerintah sering mengambil keputusan untuk menaikan
standart nilai kelulusan, namun disisi lain fasilitas dan mutu pengajaran tidak
mengalami perubahan. Sering kali fasilitas pendidikan agama, baik dalam bentuk
penyediaan fasilitas baik ruang mengajar sering kali diabaikan. Buku-buku acuanpun
tak banyak, hanya itu-itu saja dari tahun ketahun. Walaupun fasilitas yang
serba terbatas namun dari sosok pak Anton saya menyadari kini, bahwa dulu
beliau bukan hanya mengajarkan teori saja. Namun lebih dari itu, sosok tak
kenal lelah, pengabdian yang tulus, tak banyak ngomongnya di kelas mengajarkan
bahwa perbuatan nyata dan perilakulah yang dapat langsung menjadi contoh nyata
bagi murid-muridnya. Dan semua itu tanpa disadari oleh saya. Saya bisa sampai
disinipun berkat jasa beliau. Waktu dulu SMA memang belum sempat ada kata yang
terucap untuk mengucapkan rasa terima kasih. Saat kuliah pun juga tak sempat,
padahal sering kali bertemu. Hingga rasa ucapan terima kasih itu diucapakan
lewat bisikan saat beliau sudah terbujur kaku. Dan saya menyadari bahwa saya
telah terlamabat mengucapkan kata terima kasih.
Sosok guru, apalagi guru yang kurang populer
merupakan sosok yang benar-benar menjadi pahlwan tanpa tanda jasa. Mengajar
dengan sepenuh hati, tak mengharapkan imbalan dan balas jasa dari siapapun. Yang
dilakukan hanyalah memberi, memberi dan meberi
dengan tulus. Kita semua bisa menjadi seperti ini berkat jasa-jasa guru kita.
Terimakasih pak Anton, lewatmu lah saya diajarkan untuk melakukan segala sesuatu
dengan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar