Intisari dari Kursus Pendidikan Iman (7/5) yang dibawakan oleh Rm.
C.Putranto, SJ
Tahun
iman ini yang dicanangkan bersamaan
dengan peringatan 50 Tahun pembukaan Konsili Vatikan II dan 20 tahun penerbitan
Katekismus Gereja Katolik, diadakan dengan maksud agar orang semakin bersyukur
dan bangga atas imannya. Diharapakan agar orang semakin tekun mendalami warisan
iman (yang dalam bahasa tradisi disebut “fides
quae”), agar mampu mempertanggung jawabkan secara lebih dewasa dan mampu
mewartaknnya secara lebih meyakinkan.
Menemukan kembali pengalaman iman agar kegembiraan dan entusiasme perjuangan
dengan Kristus dapat terpancar lagi. Menemukan kembali cita rasa akan santapan
sabda Allah dan Roti Kehidupan. Menemukan kembali isi iman yang diikrarkan,
dirayakan, dihayati dan didoakan. Merefleksikan tindakan beriman itu sendiri.
I.
Berziarah masuk era digital.
Berziarah memang
berupa penjelajahan, namun yang khas adalah bahwapenjelajahan itu dengan
maksudmencari Tuhan. Dunia digital, dunia kita sekarang ini mengundang untuk
diziarahi. Memang harus disadari bahwa era digital ini ditandai dengan “digital divide” dalam beberapa artinya
: pertama, dalam arti bahwa era ini menciptakan kesenjangan antara mereka yang paham
dan mampu memanfaatkan alat-alat teknolgi digital dengan mereka yang
ketinggalan dibelakang, sering tanpa akses sedikitpun kesitu. Kedua, dalam arti
bahwa era di awal abad ke 21 ini juga ditandai oleh hidupnya generasi yang
mulai memanfaaatkan teknolgi digital namun dididik dalam zaman serta budaya
sebelumnya, yakni budaya cetak, bersamaan dengan hidup pula generasi yang sudah
dilahirkan dalam alam digital. Generasi yang disebut pertama disebut “imigran digital”, sedangkan generasi
yang disebut kemudain disebut “pribumi
digital.” Dalam era ini Tuhan tidak berhenti bercerita tentang cintaNya
kepada manusia sebagaimana dalam budaya lisan dahulu kala, terutama lewat Kitab
Suci yang sekarang masih menunjukkan aktualitasnya. Akan tetapi sekarang ini
kisah Tuhan harus bersaing dengan aneka kisah lainnya yang menyapa indera dan
merangsang selera keinginan manusia. Kisah Tuhan adalah salah satu paparan
cerita lewat media modern. Peziarahan dalam budaya digital ini dijumpai aspek
pertama dari sikap iman di dalamnya yaitu jeli dan waspada menemukan kehadiran
Tuhan justru dalam karakteristik-karakteristik budaya digiatal itu sendiri. Kehadiran yang acapkali tersamar, namun
menyapa nurani yang terdalam dan meminta tanggapan yang total.
II.
Menjadi Orang Beriman Dalam Era
Digital
Menjadi
orang yang mengahayati imannya di era digital berarti secara dewasa dan sadar
menghayati hubungan dengan Allah yang hidup di tengah semakin lengkapnya media
komunikasi dewasa ini : Bersyukur dan bangga atas pengenalan akan Kristus serta
bersemangat untuk menemukan kehadiranNya di tengah hinggar binggarnya dunia
digital dewasa ini. Kesaksian Kristiani terpancar dari profil yang ditampilakan
dalam dunia digital ini. Profil ini bukan hanya berupa penampilan sebagaimana
kita ingin dilihat atau dikenang, melainkan juga sepak terjang dan kiprah kita didalmnya
III.
Merasul Dalam Era Digital
Prinsip
merasul dalam zaman digital tidak lah berbeda dengan prinsip kerasulan dalam
zaman-zaman sebelumnya. Apa yang sudah kita alami sebagai keselamatan dan makna
sejati kehidupan, kita bagikan kepada sesama. Dalam titik-titik kehidupan ini
nama Yesus penyelamat diwartakan, dikisahkan, disharingkan, dipertemukan ,
dipersaksikan sebagai yang memenuhi dambaan-dambaan tersebut. Hanya saja dalam
zaman digital ini dambaan-dambaan tersebut perlu dicari dan dipertemukan dalam
macam-macam cara orang tersambung satu sama lain di dunia virtual. Lewat
jejaring di dunia digital orang dapat dalam aneka cara yang kreatif masuk dalam
dunia pergaulanvirtulal dengan berbekal integritas kristiani dipadukan dengan
kretivitas berkomunikasi, lewat status, lewat gambar, lewat pemberitaan, lewat
sharing hal-hal yang berguna, lewar blog pribadi dan lain sebagainya. Merasul dalam dunia virtual berarti
keberanian untuk menghadapkan iman kepercayaan kristiani pada
pertanyaan-pertanyaan dari orang lain, entah mereka yang tidak beriman maupun
beragama atau berideologi lain.
IV.
Mengahayati Iman Dalam Facebook
Sebagian
mungkin cukup besar dari kita sudah masuk kedalam facebook, sebagai bagian dari
keikutsertaan pada tata pergaulan zaman ini. Banyak hal yang secara langsung
dirasakan sebagai manfaat dari situs jejaring sosial ini. Namun dari ini semua
ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul
dan jawabannya akan menunjukan apakah kita menghayati situs tersebut secara
kristiani atau kurang dari itu.
1.
Penampilan Foto Profil
Tidak
ada yang mengatur untuk menampilakan foto profil dengan cara tertentu. Orang
bebas memasang foto profil sebagaimana yang dikehendaki. Pertanyaan refleksi
yang muncul : seberapa jujur aku dalam menampilakan diriku lewat foto profil
ini? Apa yang kuharapkan sebagai kesan orang lain terhadapku dengan menyaksikan
foto profil ini? Apakah pilihan cara pasang foto ini hanya sekedar memenuhi
kebutuhan psikologisku akan hal tertentu dari orang lain (pengakuan, kekaguman,
orang lain tak perlu tahu bahwa wajahku kurang bagus, bahwa aku punya keturunan
yang cantik dll), ataukah sungguh menampilkan diriku apa adanya sebagai orang
beriman yang ingin dikenal sebagai orang beriman kristiani?
2. Nama Diri
Disini
juga ada macam-macam cara orang menampilkan nama dirinya: ada yang apa adanya,
ada yang memakai nama samaran, ada pula yang mengemas nama dirinya sedemikian
rupa sehingga tidak cepat dikenal oleh sembarang orang selain baranng kali
teman-teman terdekatnya. Dalam hal ini tercermin macam-macam sikap orang dalam
menerjuni pergaulan sosial. Ada yang apa
adanya, ada yang menonjolkan jabatan serta fungsinya, ada yang tidak
menginginkan publisitas, ada yang dikenal hobi dan kesukaannya saja, ada yang
ingin membatasi kenalan-kenalannya, dll.
Memang setiap orang bebas menentukan maksud dan tujuannya dalam
bergabung dalam jejaring sosial, namun
bila bicara mengenai sikap iman di sini, tentu kejujuran dan ketulusan harus
tampak dalam menampilkan nama diri.
3. Teman-teman
Tidak
dapat disangkal bahwa jejaring sosial memberi kesempatan untuk mendulang kenalan-kenalan
baru. Akan tetapi dengan terkumpulnya ratusan bahkan ribuan orang, orang tak
menyadari , kualitas macam apa dari relasi yang ingin kita jalindengan teman
sebanyak itu, dan dampak apa yang dihasilkan terhadap pandangan orang tentang relasi
pertemanan dan persahabatan itu sendiri (khususnya di dunia nyata). Ini semua membawa
pertanyaan kepada makna pertemanan, khususnya makna persahabatan sejati, yang
membutuhkan waktu dan proses, membutuhkan perjumpaan nyata yang teratur sehingga tumbuh saling kepercayaan, dan
sedikit membutuhkan suasana privat yang tidak terlalu mudah diakses oleh
publik. Bagaimana yang semacam ini bisa terbina hanya secara virtual lewat
facebook? Seluruh problematik ini mengajak orang untuk mendalami bagaimana
Tuhan ingin dihubungi oleh manusia dalam
jalinan hubungan pribadi yang tulen,
khususnya lewat relasi tulen dengan sesama manusia.
4. Status
Umumnya
orang memasang status dalam jejaring sosial untuk mengungkapkan isi hati,
perasaan yang membeban, keluhan akan situasi yang dialami atau suatu berita
yang amat menarik perhatiannya. Seperti halnya dalam dunia nyata, dalam bergaul
dengan orang lain, kita sering mendapat sukacita, dibuat marah, jengkel,
cemburu, ingin sendirian, memuji, heran, kagum dan seterusnya. Namun di dunia
nyata, umumnya kita terlatih untuk mencari forum, tempat dan saat yang tepat
untuk mengungkapkannya. Namun bagaimana dengan facebook? Pernyataan-pernyataan
itu muncul begitu saja tanpa konteks, langsung bisa dibaca oleh orang sedunia,
termasuk orang-orang yang langsung atau tidak langsung punya kepentingan dengan
peryataan kita itu.
5. Intensionalitas
Orang
masuk facebook, barangkali karena dorongan mode, agar tidak ketinggalan jaman dan
terasing dari pergaulan dengan teman maupun relasinya. Bila orang ingin memakai
facebook sekedar supaya tidak kesepian dan mendapatkan lahan untuk
mengungkapkan perasaannya. Ada pula orang masuk facebook untuk bisa memantau
kegiatan maupaun pergaulan anak-anaknya. Ada juga yang masuk facebook untuk sekedar mencari update berita, kegiatan
dan peristiwa dari segenap teman dan handai taulan. Atau juga sekedar membuka
dinding-dinding mereka, dan memberi tanggapan atau komentar dan tanggapan
dimana dia mau. Atau orang kristiani tidak usah malu untuk memberi kesaksian
tentang “Kabar Gembira “,“Kabar Gembira
“ yang dialami dalam hidupnya sendiri,
maupun “Kabar Gembira “ yang direnungkan dari kitab suci.
6. Kerendahan Hati
Betapa
besarnya pengaruh kata. Kata mampu membuat orang tertawa, menangis, mampu
mempengaruhi, mengilhami, memperalat ataupun mengejutkan orang lain. Kehadiran
dalam facebook sering tanpa disadari membawa orang pada anggapan bahwa lebih
baik disukai banyak orang daripada menjadi diri sendiri. Suara yang muncul dari
teman-teman jejaring lebih penting dan lebih didengarkan daripada suara yang
muncul dari lubuk hati nurani kita sendiri. Ini merupaka rintangan terhadap
sikap rendah hati, yang duiperlukan untuk hadri dalam facebook secara
kristiani. Kita menjadi khawatir akan kehilangan citra sebagai (misalnya) orang
yang tahu banyak hal. Maka kita takut untuk memasang status yang bernada
pertanyaan atau keraguan. Kita menjadi sibuk mengolah potert diri dan
pertemanan yang kita bayangkan, dan tak mau menampilkan diri sepereti nyatanya.
Ini bukan sikap kerendahan hati; kerendahan hati adalah kesediaan untuk berbagi,
tetapi juga kesediaan untuk menerima yang berharga dari orang-orang lain.
7.
Ketulusan
Mudah
sekali dalam facebook orang membuat profil yang justru menyembunyikannya dari
keadan yang sebenarnya, dan dengan profil yang tidak jelas atau bahkan palsu
itu dia bergaul dengan teman-teman dalam dunia virtual. yang demikian ini tentu
bukan cara kehadiran kristiani di tengah jagad virtual, apa lagi kehadiran
kristiani yang merasul. Menjadi otentik tidak hanya berarti bahwa data diri
yang dipasang sesuai kenyataan, tetapi lebih-lebih bahwa segala yang dinyatakan
entah sebagai status, sebagai komentar ataupun dukungan sungguh muncul dari
kesadaran pertimbangan dan dari hati,
bukan basa-basi, bukan iseng, bukan asal bunyi. Ketulusan dengan demikian
berarti bahwa status-status yang dipasang (isinya, nadanya, caranya) sejalan dengan
profil diri yang diperkenalkan di jejaring sosial tersebut. Ini merupakan
ungkapan yang mengalir dari siapa saya, yang ditampilkan dalam data diri. Maka
dari itu seorang yang menjadi anggota dari situs jejaring sosial seperti
facebook dan twitter secara berkala perlu memeriksa kehadirannya dan
merefleksikannya : apakah citra diri yang terpantul disitu sungguh mencerminkan
diri sesungguhnya? Apa saja perasaan yang muncul dari pergaulan dalam dunia
maya? Menilik reaksi dan komentar dari
teman-teman, apakah mereka ini terbantu, tercerahkan dan diteguhkan dengan
kehadiran kita atau tidak? Apakah kehadiran dan status-status kita menimbulkan
salah paham atau bahkan pertengkaran di antara teman-teman? Apakah kita sudah
kecanduan akan facebook dan telah berlebihan meluangkan waktu untuknya?
Sudahkah kita meluangkan waktu untuk
berdialog dengan diri kita sendiri? Apakah kita sempat untuk memberi perhatian yang
lebih mendalam kepada orang-orang tertentu yang sudah kita konfirmasi
pertemannya, namun sampai saat ini hanyalah menjadi nama belaka dari daftar
teman-teman kita?
-sigal-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar